Gegar Budaya Petani Jawa #4 (Ki Sondong Mandali)

Februari 27, 2008 at 2:24 pm 2 komentar


Pengaruh Peradaban Hindu dan Buddha

Berdasarkan jejak sejarah ‘berita perjalanan’ paderi Buddha Tionghoa bisa diselisik kemajuan Jawa dalam perdagangan antar negara di Asia. Bahwa para paderi Buddha tersebut melakukan perjalanan muhibah ke India, perahunya singgah di bandar yang ada di Jawa Tengah.  Artinya, bahwa para paderi Buddha Cina tersebut sekedar menjadi penumpang perahu dagang yang rute pelayarannya singgah di Jawa. 

Singgahnya memakan waktu lama.  Perjalanan paderi Hwui-ning (abad 7M) ketika berangkat diceriterakan singgah di Jawa sampai setahun, pulangnya singgah lagi sampai 12 tahun karena perlu mendalami agama Buddha pada Jnanabhadra. Persinggahan perahu yang lama pada pelabuhan (bandar) menandakan bahwa perahu tersebut memang berpangkalan pusat di bandar itu.  Atau milik saudagar yang tinggal di bandar tersebut.  Kecuali kalau perahu tersebut rusak dan perlu perbaikan.  Kalau demikian pun menandakan bahwa di bandar pelayaran yang ada di Jawa banyak ahli perahu (pembuat perahu). Sebuah bandar pusat perdagangan sudah barangtentu menjadi pusat perdagangan produk yang ada di sekitar bandar tersebut.  Bandar di Jawa dengan sendirinya merupakan pusat perdagangan hasil bumi Jawa yang bisa dijual ke negara-negara di Asia Daratan waktu itu.  Berkat dagangan hasil bumi dan rempah-rempahnya, Jawa dikenal ke seantero Asia Daratan.  Mungkin pula sampai ke benua Afrika dan Amerika mengingat kemampuan berlayar bangsa Nusantara melanglang jagad.Keterkenalan Jawa secara otomatis menarik untuk didatangi orang-orang manca.  Terutama para pedagang (saudagar kaya) ‘pengimpor’ barang dagangan dari Jawa.  Mereka berdatangan ke Jawa diawali kepentingan berdagang termasuk berkongsi dengan para saudagar di Jawa.  Dari kongsi meningkat ke hubungan perkawinan dan kemudian lahir wangsa-wangsa ‘penguasa’ di Jawa. Catatan:  Raja Suryawarman di Kamboja adalah menantu raja di Mataram Kuno. Raja ini kemudian mendatangkan ahli-ahli pembuat bangunan candi dari Jawa untuk membangun Angkor Watt. (Laporan ekspedisi Jayasuprana ke Kamboja yang ditayangkan di TV).Dari kisah berita Tionghoa dan hubungan antar Wangsa Penguasa, bisa diselisik terjadinya interaksi antar peradaban Jawa dengan Asia Daratan (India dan Cina).  Yang tercatat dalam dokumen sejarah hanya sedikit (mulai abad 4 M).  Namun bisa diduga bahwa jauh sebelumnya interaksi antar peradaban tersebut sudah berlangsung.  Belakangan ada cerita dari jepang yang mengisahkan ‘hubungan antar peradaban Jepang dan Jawa’ yang terjadi sekitar 700 tahun SM. Konon dikisahkan bahwa bangsa Jepang mengadopsi ‘pertanian sawah’ dari Jawa.  Kebenarannya kita serahkan kepada para ahli.Dalam interaksi antar peradaban terjadi saling pengaruh-mempengaruhi dan saling mengadopsi kelebihan antar pihak.  Jawa mengadopsi kelebihan peradaban manca, demikian pula kiranya bangsa manca mengadopsi kelebihan peradaban Jawa.  Kalau dalam penulisan sejarah terkesan Jawa lebih banyak mengadopsi nilai-nilai peradaban manca lebih disebabkan sebagai dampak hubungan perkawinan antar penguasa (wangsa-wangsa).  Maka masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa melalui hubungan perkawinan tersebut.  Maka dalam sejarah (terutama menulis tentang kerajaan-kerajaan) yang terekspos adalah hubungan Jawa dengan India dan Hindia belakang (Asia tenggara).  Sementara Cina tidak banyak ditulis karena pengelana Cina ke Jawa kebanyakan para pendeta Buddha yang tidak kawin.Pengaruh peradaban Hindu dan Buddha sebagaimana tercatat sejarah adalah pada tingkat elit para wangsa-wangsa penguasa.  Sementara di aras jelata (petani) tidak begitu merasuk ke dalam. Kedua agama tersebut tidak melakukan kooptasi habis-habisan terhadap kepercayaan asli rakyat Jawa.  Sebaran agama Hindu dan Buddha di Jawa yang berperanan adalah wangsa-wangsa penguasa yang lahir di bumi Jawa dan kawin-mawin antar wangsa tersebut di Jawa.  Dampaknya berupa ‘penyatuan’ agama Hindu dan Buddha di Jawa.  Penyatuan seperti ini jelas tidak bisa ditemui di negeri asal kedua agama tersebut, India.  Selanjutnya demi memperoleh dukungan rakyat, maka wangsa-wangsa penguasa menambah penyatuan Hindu-Buddha dengan kepercayaan asli rakyat Jawa.  Hal ini bisa dibuktikan adanya kompleks percandian di Prambanan (sinergi Hindu dan Buddha) dan kompleks percandian ‘Gedong Sanga’ di Kabupaten Semarang (Sinergi Jawa-Hindu-Buddha).

Sinergi dan sikretisme peradaban Hindu-Buddha-Jawa lebih berpengaruh pada ritual keagamaan pada masyarakat petani Jawa.  Diantaranya berupa ‘pensakralan’ sumber mata air dengan diberi tambahan patung dewa-dewi agama Hindu dan Buddha. Namun secara makro tidak mempengaruhi KASH wong Jawa yang beraras pada pertanian dan kebaharian.  Kedaulatan petani dan kebaharian Jawa tidak terganggu, maka menghasilkan kemakmuran kerajaan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu di jaman kerajaan Hindu/Buddha, Jawa mencapai kenyamanan ‘hidup bersama’ dan ‘bernegara’ (kerajaan).  Jejak kemakmuran dan kesejahteraan berupa peninggalan candi-candi peribadatan agama yang monumental dan masih bisa disaksikan di jaman ini.  Hal ini menunjukkan bahwa aras hidup agraris dan kebaharian Jawa mampu memberi kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh negeri.

Banyak teori dan asumsi tentang keruntuhan wangsa-wangsa Hindu dan Buddha di Jawa.  Ada yang memperkirakan oleh sebab bencana alam, ada yang berasumsi oleh konflik besar perebutan kekuasaan.  Dan mungkin pula (pendapat penulis) keruntuhan wangsa-wangsa Hindu dan Buddha di Jawa oleh sebab adanya upaya ‘pemurnian’ agama Hindu dan Buddha. Oleh kepentingan mengajarkan agama, maka penguasa (wangsa-wangsa) mendatangkan guru-guru agama (Hindu dan Buddha) dari manca (India).  Dampak hadirnya guru-guru agama dari manca berupa upaya memurnikan ajaran agama Hindu dan Buddha.  Disamping memurnikan dari pengaruh kepercayaan asli Jawa, masing-masing agam tersebut juga berupaya memurnikan (memisahkan) sinergi kedua agama tersebut.  Akibatnya terjadi konflik  horisontal yang besar antar pemeluk agama Hindu dan Buddha tersebut di bumi Jawa.  Konflik (pertikaian) tersebut tidak sejalan dengan ‘build in spiritual’ Jawa yang lebih mengedepankan nilai rukun dan selaras dalam hidup bersama.  Akibatnya, rakyat Jawa melepaskan dukungannya terhadap kerajaan-kerajaan yang dinilai tidak mampu mencegah/mengatasi konflik yang terjadi.  Hilangnya dukungan rakyat kepada kerajaan (negara) menjadikan kerajaan-kerajaan tersebut runtuh dengan sendirinya. 

(Catatan: Mohon pembaca berkenan menganalisa sejarah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan jaman Mataram Kuno, Kahuripan, Kediri, Singosari sampai Majapahit yang sitiap pergantian dinasti selalu menyebut adanya pembunuhan masal kaum pendeta dan brahmana.  Termasuk menganalisa latar belakang Mpu Tantular sampai melahirkan Sutasoma à Bhinneka Tunggal Ika).

Pengaruh peradaban Hindu dan Buddha tidak banyak membuat perubahan pada peradaban pertanian dan kebaharian di Jawa.  Para saudagar (para Nyai Ageng) di kebandaran maupun Buyut di pedalaman masih eksis menjadi pemimpin komunitasnya.  Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan juga tidak banyak merubah ‘tata kehidupan petani’ dan ‘tata kehidupan kebandaran’.  Kedaulatan petani dan ‘kaum bahari’ masih dimiliki.  Bahkan sinergi yang sudah terlanjur terjadi tetap hidup dan dipelihara.  Ritual pertanian dan kebaharian yang sudah mengadopsi ritual Hindu dan Buddha masih dijalankan.  Itulah sebabnya banyak yang menganggap bahwa ‘budaya dan peradaban Jawa’ sebagai ‘turunan’ atau ‘hasil pengajaran’ dari India.  Termasuk pada masalah pertanian. Pertanyaan kita kepada yang menganggap demikian cukup sederhana.  Adakah di India sana perhitungan kalender Pranata Mangsa dan Pawukon sebagaimana yang ada di Jawa dan Bali ?

Entry filed under: Budaya.

Gegar Budaya Petani Jawa #3 (Alm. Ki Sondong Mandali) Paling Padat “spiritual”-nya

2 Komentar Add your own

  • 1. propbiyang  |  Februari 28, 2008 pukul 12:20 am

    hehehehe… pramila…eh, makanya Mas Agus, mbok sasmitajawa.com ipun enggal-enggal dipun RABUK supados Subur

    Balas
  • 2. SITI  |  Maret 5, 2008 pukul 4:46 am

    mohon pencerahan tentang budoyo jawi, lan boso jawi.

    Balas

Tinggalkan Balasan ke SITI Batalkan balasan

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Menerima

  • 56.741 kunjungan

Klik tertinggi

  • Tidak ada

KDP Web Blog

Blog Ki Denggleng. Memuat berbagai tulisan KDP dan Mitra