Ketawang Musik Universe?

Oktober 6, 2008 at 1:48 pm Tinggalkan komentar


Oleh Ki Denggleng Pagelaran

Tak urung aku kaget setengah heran dengan berita pagi ini (22 Mei 2005) di Harian Kompas. Kaget, karena sebelumnya tambah terkaget-kaget dengan berita Balada Suapan Dollar di KPU-BPK-Depkeu dan sebagainya, harini agak lain.

Kekagetan yang lalu berkaitan dengan kepahitan hati menyaksikan berkucurannya kran-kran penjaga di Kolam Pemandian Umum. Ya mereka ibaratnya kran air penutup bau…;p. Tetapi apa lacur justru dari kran-kran itulah menerabas keluar segala bau tak sedap dari kaum intelektual yang semula diandalkan untuk menjaga kebersihan. Betapa tidak secara berombongan kaum intelektual itu sekarang malah menjadi penghuni (meskipun kita harus patuh dengan) Praduga Tak Bersalah) ruang tahanan. Tragis!

Kekagetan tadi pagi tertumpu pada berita liputan di halaman muka kanan bawah, tentang rencana pengiriman MUSIK JAWA KLASIK, KETAWANG PUSPAWARNA yang konon digubah oleh MANGKUNEGARA IV (eh atau salah ya?). Konon musik bergamelan itu merupakan urutan ke-2 berdurasi 2 menit 43 detik untuk dicoba sampaikan kepada (seandainya ada) makhluk hidup di luar bumi oleh NASA.

Jika digunakan untuk pengiring tarian, maka tariannya berupa tari BEDAYA. Seperti inilah salah satu contoh tampilan Tarian Bedaya dengan Iringan Gamelan Ketawang itu:

[http://blog.baliwww.com/wp-content/photos/legong_calonarang_bedaya_ketawang_2.jpg]

Sayang bahwa kekagetan itu juga merupakan keprihatinan. Prihatin sangat dalam, atas kebutaanku kepada musik-musik yang seperti itu. Kini baru Ketawang yang memang bernuansa musik dari alam sana. Belum lagi Ladrang, Lancaran, Palaran, Uyon-uyon, Ketuk Tilu, Gong Kebyar, Lenggong Kodok, Gandrung Banyuwangian, Calung Banyumas, Calung Sunda, Tarling.. Losquim, Saluang, Tor-tor…. dsb. dsb.

Mengapa prihatin. Tak lain adalah bahwa sekarang Ketawang Puspawarna akan diangkasakan oleh NASA. Pembawanya orang-orang STSI (sekarang ISI?) Surakarta. Yang bagi kami-kami orang awam, blas mereka bak dewi Saraswati, bidadari seni-budaya nan sempurna wawasan dan kepiawaiannya, tapi kami tak mampu melihatnya, tak mampu memahaminya. Juga prihatin dengan kejadian-kejadian di sekitarku berkenaan dengan MUSIK. Betapa ada sebagian orang meneriakkan: BERNYANYI itu HARAM…!

Olehnya itu, musik-musik indigenous berwawasan perdaban, kebudayaan setempat dan perhatian kepada alam sekitar, perlu digali lagi. Diperkembangkan dan diperdengarkan. Sebelum nanti (kalau ada) Makhluk Luar Bumi mendengar dan minta diajari… hahaha. Kan repot? Ya kalau mereka menemui anak-anak STSI atau ISI atau langsung ke Dr Rayahu Supanggah… barang kali bisa berkomunikasi. Lha kalau yang ditemui aku, yang musik bisanya cuma mendengarkan begini? Bisa-bisa diculik dijadikan “orang percobaan” di planet lain….;P.

Sementara itu, ada orang berpendapat bahwa memang ada bahasa Universal. Dulu di Mesir ada aksara Hieroglype (aksara Dewa) yang disebut dengan Medu Netcher (bahasa setempat waktu itu), yang kata-kata diwujudkan dengan gambar. Yang dibaca hanyalah konsonannya. Jadi misalnya kata Kucing dan Kacang, maka dapat digambar dengan simbul sama yang berkonsunan KCNG, misalnya seekor KUCING. Berbunyi kucing bila gambar itu dipasangi dengan gambar kucing lagi. Lha kalau gambar kucing dipasangi dengan gambar tanaman, jadilah KACANG.

Di Jawa dulu katanya juga ada bahasa yang dipahami oleh segala makhluk. Baik yang kasat mata maupun yang gaib. Bahasa itu adalah bahasa NGLEGENA (telanjang) maksudnya meletakkan aksara Jawa (aslinya ada 21, sebelum Ajisaka) dengan memperhatikan konsonannya. (aksara Jawa adalah karakter Sylabaries, artinya setiap konsonan ditempeli bunyi, mirip dengan aksara KANA di Jepang… lho kok bisa mirip ya?).

Jadi misalnya berdoa kepada Tuhan dengan “Duh Gusti” begitu, maka yang dilafalkan maupun yang dibatinkan adalah “Da Ha Ga Sa Ta” (Daha Gasata). Malaikiat Jibril jadi bernama JABARALA, Mikail jadi MAKAHALA, Israfil menjadi HASARAPALA dan Izroil menjadi HAJARAPALA…. dan keempat malaikat itulah dalam bahasa nglegena merupakan personifikasi dari faham SEDULUR PAPAT (saudara yang empat) yang ikut membantu keberadaan dan keadaan manusia…..;p.

Ujung-ujungnya, aku jadi ingat tulisan-tulisan pendek di buku Bawarasa Kawruh Kejawen: Wacana dialog peradaban dan budaya. Yang sekarang sudah diterbitkan oleh Yayasan Sekar Jagad. Dapatlah menjadi penghiburan di tengah-tengah keprihatinan budaya dan tingkah laku bangsa saat ini. [KDP – 22-5-2008]

 

Entry filed under: Budaya, pendidikan, spiritual.

BAHASA DEWATA Daerah Ada Sungai(nya)

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Menerima

  • 56.742 kunjungan

Klik tertinggi

  • Tidak ada

KDP Web Blog

Blog Ki Denggleng. Memuat berbagai tulisan KDP dan Mitra